M
|
ungkin kita pernah mendengar atau bagi yang belum
pernah mendengar pernyataan ini, sekarang mari diperdengarkan bahwa ketika seorang
wanita malas akan belajar, ingatlah bahwa anak-anaknya kelak berhak dilahirkan
dari rahim seorang wanita yang cerdas. Pun juga ketika seorang wanita malas
akan beribadah, ingatlah bahwa anak-anaknya kelak berhak dilahirkan dari rahim
seorang wanita yang taat. Sejenak, seperti
itulah gambaran masa depan akan peran ia sebagai wanita dalam sebuah keluarga.
Adapun peran wanita dalam keluarga
ini, tentu tergantung dari kedudukan dan fungsinya dalam keluarga itu sendiri.
Apakah ia berkedudukan sebagai seorang anak, istri, maupun berkedudukan sebagai
seorang ibu. Karena, ia akan menjalankan peranan sesuai fungsinya dengan
sebagaimana ia berkedudukan.
Seorang wanita akan menelurkan
generasi-generasi yang nantinya akan memegang tampuk kehidupan dalam dunia yang
terus berproses ini. Ia yang akan menggores seberapa dalam dan kuatnya
kepribadian (baca : akhlak) yang akan dimiliki para generasinya. Otomatis disini adalah tentang peran wanita sebagai
seorang ibu.
Berasumsi dari filosofi teori
tabularasa oleh Jhon Locke, dimana setiap anak yang lahir diibaratkan seperti
kertas kosong. Memang ada benarnya juga yang dikemukakan Locke, disini mengacu
bahwa orang tua dari si anaklah yang pertama kali akan melukiskan apapun dari
setiap kertas kosong tadi. Pun sama dengan hadist yang diriwayatkan oleh
Baihaqi, bahwasanya setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, lalu kedua
orangtuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Asumsi filososfi
Locke dan kutipan hadist tersebut bahwa orang tua dapat menginginkan
generasinya seperti apa yang ia kehendaki, sehingga tampak jelas peran orang
tua terutama ibu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anaknya.
Terlepas dari itu semua, Dorothy L.
Notle seorang penulis berkebangsaan Amerika juga memiliki buah pena yang inspiratif
sekali. “Children Learn What They Live”,
yang mengangkat tentang bagaimana seorang anak itu belajar dari kehidupannya. “Jika
anak dibesarkan dengan toleransi, dia akan belajar menahan diri. Jika anak
dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, dia belajar keadilan. Jika anak
dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, dia akan belajar menemukan
cinta dalam hidupnya” merupakan salah satu penggalan dari puisi karya Notle
yang bisa dijadikan cerminan dalam proses pemberian pendidikan kehidupan si anak.
Orang tua (baca : Ibu ) adalah pemancang
tonggak sebagai pembentuk kepribadian dan sebagai pencerah peradaban dalam menciptakan
insan yang kompetitif karena di sanalah titik sentral pendidikan itu sebenarnya. Oleh
sebab itu, ia akan mendidik anak-anaknya dengan cara yang baik. Nah, baik yang
seperti apa? Tentu saja sesuai dengan Al-Quran dan Hadist. Bukankah dua pusaka
tersebut adalah pedoman, lalu hendaknyalah mempedomani pedoman yang mutlak bin
absolute sudah ada.
Seperti diriwayatkan oleh At-Tabrani
dari Ali Ibn Abi Thalib r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Didiklah anak-anakmu atas tiga hal:
mencintai nabimu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Quran, karena orang
mengamalkan Al-Quran nanti akan mendapatkan naungan Allah pada hari ketika
tiada naungan kecuali dari-Nya bersama para nabi dan orang-orang yang suci”.
Subhanallah, indah sekali hadist beliau untuk mendidik putra-putri generasi
harapan dari orang tua sang pendidik pertama dan utama.
Sejatinya, peran besar orang tua
terhadap anaknya ialah tanggung jawab yang kelak akan diminta
pertanggungjawabannya. Tentang bagaimana ia mendidik, membesarkan, dan
menanamkan nilai-nilai kehidupan atas diri anaknya. Sedari orang tua paham akan
hal itu, mereka tidak akan tutup mata, tutup telinga bahkan jangan sampai
tertutup pintu hatinya perihal kebaikan anaknya. “Ketahuilah bahwa anak adalah amanat bagi orang tuanya. Hatinya
merupakan mutiara yang masih asli, siap untuk dibentuk macam apapun. Jika
dibiasakan pada kebaikan, tentu dia akan tumbuh pada kebaikan itu. Orang tua
dan walinya (pendidik) sama-sama mendapat pahala. Jika anak dibiasakan pada
keburukan, maka dia akan tumbuh pada keburukan itu, orang tua dan walinya
(pendidik) akan dapat dosa karenanya. Jadi, orang tua dan wali (pendidik) harus
menjaga, mendidik, mengarahkan, membimbing dan mengajari anak dengan
akhlak-akhlak yang baik” (Ibnu Qudamah dalam Minhajul Qhasidin).