Senin, 22 Desember 2014

IBUMU… Kemudian IBUMU… Kemudian IBUMU…

Ibu…
Malaikat mulia tak bersayap itu nyawanya di ujung tanduk. Kontraksi rahimnya kian lama makin menyakitkan. Saat itu benar-benar pertaruhan hidup dan mati menanti sang buah hati tercinta, bahkan lebih rela anaknya yang selamat jika takdir Allah berkehendak “mengambil” salah satu di antara keduanya. Baginya saat itu adalah Jihad fii Sabilillah. Perobekan luas nan luka kronis berdarah-darah seolah sirna ketika mendengar tangis sang bayi. Ya… saat itulah kita muncul di pentas dunia. Ahlan wa Sahlan.
Ibu…
adalah Abdullah bin ‘Umar, putra Al-Faruq (‘Umar bin Khaththab) itu menyaksikan geliat penuh semangat seseorang yang menggendong ibunya yang telah berusia lanjut sembari thawaf mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah sudah lunas hutang budiku pada kebaikan-kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walau sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu”. Bayangkan, betapa tak kuasanya kita membalas kebaikan-kebaikan ibu kita walau sampai berjibaku memuliakannya. Betapa sukarnya kita menandingi ketulusan cintanya.
Ibu…
Mari sejenak berkaca pada kisah Ibunda Hajar (istri Nabi Ibrahim a.s). Bayi mungil bernama Isma’il itu meraung dalam tangisnya karena dahaga yang teramat sangat. Saat itu air susunya telah habis, terpaan panas dan badai padang pasir cadas menyergap mereka berdua, deru angin dan debu menerpa mereka. Di telisiknya ke segala penjuru ternyata tak ada sama sekali sumber mata air. Hajar pun rela berlari bolak-balik dari bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh kali hanya untuk mencari teguk air bagi buah hatinya. Walau kerikil-kerikil mencacah tapak kakinya. Sebuah pengorbanan yang tak tertandingi. Dengan kalimat yang paling saya ingat “Jika ini perintah Allah, maka sekali-kali tiada pernah Dia menyia-nyiakan kami”.
Ibu…
Ketika jatah makanan di rumah kita terbatas, sang Ibu berujar kepada anak-anaknya. “Makanlah dan habiskan makanannya wahai anak-anakku, kalian pasti sangat lapar”. “Bagaimana denganmu Ibu?”. “Tenang Nak, Ibu sama sekali tidak lapar”.
Ibu…
“Jika dalam usia sebelia ini mereka menjadi hafizh qur’an maka kami tak dapat membayangkan apa yang terjadi pada mereka 20 tahun kemudian, peradaban (yahudi) ini bisa hancur”.
Lihatlah, betapa pongahnya Israel melihat serdadu-serdadu mungil Palestina, betapa gentar dan ciutnya nyali mereka. Inilah yang menjadi sebab Zionis Israel Laknatullah menjadikan wanita dan anak-anak sebagai target pembabatan utama. Sebab sedikitpun mereka tak sudi, bila dari rahim Ibu-Ibu Palestina yang Shalihah lahir generasi Rabbani yang siap memporak-porandakan kebathilan dan mengembalikan kejayaan Islam.
Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, para sahabat, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in, dan para salafus shalih pernah mengkhusukan dan memerintahkan “pemuliaan ibu” pada hari tertentu saja? Ternyata tidak, karena sejatinya kemuliaanmu wahai ibu, bukanlah pada hari ini saja. Engkau berhak mendapatkan perlakuan istimewa, perkataan baik nan penuh hikmah, senyuman termanis, sambutan dengan wajah berbinar, dan dekap pelukan terhangat tiap harinya.
Ibu…
Bahkan bila seandainya hari ini (tanggal 22 Desember) tak pernah ada, bagiku seluruh hari adalah harimu. Momentum 22 Desember 2014 ini mudah-mudahan menjadi “sentilan” bagi gelayut hati kita agar memaknai pentingnya Birrul Walidain beserta keutamaan dan pahala yang terselip di dalamnya.
Ibu…
Maafkan kami yang selama ini mengaklaim diri kami terlalu sibuk sebagai Mahasiswa hingga tak ada waktu menengokmu melalui pelupuk mata ini. Hati kami sebenarnya menyeruak, dihantui perasaan dosa besar tatkala melihat bulir-bulir air matamu yang berjatuhan disebabkan karena kedurhakaan kami. Dering telepon milik Ibu kita berdering. Oh.. betapa senangnya saat itu sang Ibu menyambut anaknya yang telah jauh merantau, meskipun hanya melalui telepon seluler. Kerinduan membuncah Ibu yang telah lama terbelenggu, pupus sudah dengan menyibaknya perkataan sang anak “Bu, apa uangnya sudah dikirim ke rekening?” .
Ibu…
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali engkau mencelanya karena seringnya BAK dan BAB di celana. Bukankah dulu kita sangat sering mengganggu tidur lelapnya di tengah malam? Saat itu kita hanya bisa merengek meminta ganti popok karena tidak nyamannya lagi kondisi popok kita yang penuh kotoran.
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali engkau merendahkannya karena seringnya “pikun”. Bukankah dulu dia telah mengajari kita nama-nama benda di sekitar? Bahkan seringnya kita kembali bertanya. “Ibu, itu apa?”. “Itu kucing nak” (senyumnya menyejukkan kita). Saat melihat kucing yang warna dan jenisnya berbeda kita bertanya kembali, “Ibu, itu apa?”. “Sama anakku sayang, itu kucing” (sambil menggendong dan menimang-nimang kita).
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali geram ketika suapan nasi dari kita sering dimuntahkan tatkala dia sakit. Bukankah dulu kita juga sering memuntahkan bubur ketika didulangmakan?
Jika kelak Ibu kita telah lanjut usianya, janganlah sekali-kali terselip niat untuk meng-hijrahkannya ke Panti Jompo dengan dalih “kehadiranmu sudah terlalu merepotkan dan mengusik kenyamanan istri dan anak-anakku”. Bukankah dulu kita jauh lebih sering merepotkannya? Pagi hari sebelum berangkat sekolah berlaku layaknya raja minta dibuatkan sarapan, siang hari ketika sudah pulang kita selalu meletakkan kaos kaki dan baju sembarangan, kita enggan merapikan tempat tidur kita, mencuci baju kita, menjahit baju kita. Kita sering tak pamit jika keluar rumah. Betapa seringnya kita menadah uang darinya namun berkhianat dengan berpesta pora di malam minggu ria, bahkan sampai menggandeng “wanita” lain atas nama cinta. Lelaki Mukmin sejati kok ngajak pacaran?? (afwan, sedikit keluar dari tema, hehe).
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Ku lah kembalimu.“(Surah Luqman: 14).
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Surah Al-Israa: 23).
Mari kita do’akan Ibu kita selalu, Allahummaghfirlii wa li waa lidayya warhamhumaa kamaa Rabbayaani Shaghira. InsyaAllah menjadi manifestasi amalan yang tiada putus-putusnya.
Ya Allah, Maha Suci dan segala Puji hanya bagi-Mu
Aku bersyukur masih dapat melihat ibuku dan merasakan kasih-sayangnya hingga kini
Aku bersyukur masih mendengar nasihat dan “omelan-omelan” cintanya kepada
anak yang masih kurang ajar ini
Ibumu… Kemudian Ibumu… Kemudian Ibumu…

Senin, 01 Desember 2014

Seorang Penasehat Bukan Berarti Ma’shum


                                       (ditulis oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin)


Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t berkata:
            “Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah U, tidak ada yang mengajak untuk taat kepada-Nya, tidak pula melarang dari memaksiati-Nya. Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-mejelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah U mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah U dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim.”
             Pada suatu hari beliau t pergi menemui murid-murid beliau dan mereka tengah berkumpul, maka beliau t berkata: “Demi Allah U, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama (umat ini) sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafus Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian (hanya) seperti orang yang bermain-main. Dan seorang yang rajin dari kalangan kalian (hanya) serupa dengan orang yang suka meninggalkan. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian (dengannya), akan tetapi Allah U Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya.”
(Mawai’zh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187)

http://muhaiminquote.wordpress.com/2014/06/26/seorang-penasehat-bukan-berarti-mashum/

Minggu, 30 November 2014

Hamka: Ghirah Adalah Nyawa







Sesungguhnya Allah pun cemburu (yagharu) dan orang yang beriman juga cemburu (yaghaar). Kecemburuan Allah, yaitu jika orang mukmin melakukan apa yang diharamkan” (Bukhari dan Muslim)
Banyak asumsi beredar di kalangan kaum muslimin Indonesia tentang makna ghirah. Namun, agaknya konvensi yang sering muncul menyebutkan ghirah memiliki arti semangat. Definisi ini  tentu masih menyisakan sejumlah pertanyaan: apa, mengapa, dan bagaimana “semangat” yang dimaksud itu? Maka, penting bagi kita memahami makna sesungguhnya istilah tersebut dan bagaimana kedudukannya dalam Islam.
Adalah Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang pada sekitar tahun 1954 menulis buah pikirannya terkait makna dan kedudukan ghirah. Goresan pena ulama dan sastrawan Minang yang akrab disapa Buya Hamka ini kemudian dicetak dalam bentuk buku tipis berjudul “Ghirah dan Tantangan terhadap Islam”.
Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hal. 3) atau cemburu (hal. 9). Dalam bukunya itu, Buya membagi ghirah (cemburu) ini menjadi dua macam: cemburu karena perempuan dan cemburu karena agama. Keduanya, menurut Buya, adalah simbolnya masih hidupnya jiwa seseorang, utamanya seorang muslim. Artinya, jika sudah tak ada lagi ghirah ini, mengutip pernyataan Buya Hamka, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (hal. 8) Demi menegaskan, Buya Hamka sengaja menyatakan kalimat serupa makna dengan ini di beberapa tempat. Ghirah inilah tanda bahwa kita masih hidup, begitu penulis Tafsir Al-Azhar ini hendak berpesan kepada kita. Mengapa demikian?
Secara implisit Buya menyampaikan argumentasinya menyebut ghirah sebagai nyawa kita dengan mengutip syair Ali bin Abi Thalib r.a. Kata sahabat dan sepupu Nabi SAW, sebagaimana dikutip oleh Buya Hamka, saat menyindir orang yang sudah luntur ghirahnya:
Sangat awaslah kalau harta bendanya tersinggung tetapi tak ada perasaannya apabila agamanya kena musibah
Di bagian lain, Buya Hamka juga menyitir sabda Rasulullah:
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Apabila tidak sanggup, maka dengan lisan. Jika tidak bisa, maka dengan hati. Dan itulah (mengubah dengan hati) selemah-lemahnya iman” (HR Muslim)
Dengan kata lain, kecemburuan ini sah dan bahkan diperintahkan dengan syarat keimanan yang menjadi landasan. Hal yang perlu kita cemburui juga, kata Buya Hamka, menyangkut dua hal: wanita dan agama. Wanita maksudnya ialah hendaknya kita tidak rela dan lebih bagus lagi berbuat sesuatu atas tindakan tidak sewenang-wenang terhadap wanita. Tentu ini tidak berarti bahwa hanya wanita yang dianggap makhluk lemah dan patut dibela. Bukan demikian. Melalui dua dalil di atas sejatinya kita bisa menyimpulkan bahwa segala macam ketidakadilan mestinya dilawan. Mengapa wanita? Dengan berhusnuzhan  kepada Buya, sepertinya Buya ingin lebih memprioritaskan persoalan wanita sebagai objek yang kerap menjadi korban penindasan ketimbang kaum Adam. Dengan dalihinternational minded, eksploitasi wanita sering terjadi. Mode pakaian, tata pergaulan, norma berkedok custom (kata orang Inggris) atau etiquette (kata orang Perancis) sering menjadikan wanita sebagai “tumbal”. Tak bisa dibayangkan bagaimana rupa perempuan Indonesia, khususnya para muslimah, jika hal-hal semacam ini menggeser nilai yang lebih tinggi dan terjamin mutunya. Terhadap fenomena seperti inilah kita diharuskan memainkan peran ghirah kita. Lakukan perlawanan dengan cara yang kita bisa. Sekali lagi, jika tidak ada perlawanan, sejatinya nyawa sudah tercabut dari raga kita.
Adapun ghirah terhadap agama, sebagaimana dikatakan oleh Ali r.a. di atas adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Sehingga tidak bisa kita menegasikan dengan ketentuan bahwa agama Allah akan menang dengan sendirinya walaupun tidak kita bela. Bukankah Mahakaya, Mahaperkasa, dan tidak membutuhkan makhluk-Nya? Allah ialah Al-Qayyuum, Maha Berdiri Sendiri. Kuasa Allah memelihara Islam sebagai undang-undang-Nya tidak boleh diragukan. Namun, ketahuilah bahwa janji Allah memenangkan Islam ialah satu hal, sedangkan kewajiban kita membelanya adalah hal lain. Ghirah terhadap Islam ini adalah kebutuhan kita sendiri, bukan untuk Allah. Maka, sudah sepantasnya kita bereaksi tatkala Islam dilecehkan. Tentu saja tetap diperlukan ilmu untuk menentukan apa dan bagaimana bentuk konkret ghirah kita.
Lebih lanjut, demi merampungkan pembahasan tentang ghirah agama, Buya Hamka mengisahkan beberapa fakta yang tidak banyak diketahui tentang sosok Mahatma Gandhi. Pribadi salah satu tokoh besar India ini dikenal dalam level internasional sebagai orang yang toleran, tidak fanatik, dan selalu menghargai perbedaan. Namun, ternyata dalam beberapa kesempatan ia juga tidak bisa menafikan perlunya ghirah terhadap agamanya, Hindu. Apakah ini salah? Tentu tidak. Asalkan perwujudan kecemburuan seseorang terhadap agamanya masih dalam koridor yang bisa diterima. Sekali lagi, karena ghirah itu adalah nyawa dan jiwa. Raga kita tiada berguna manakala ia telah tiada.

Sumber:
Hamka. (1984). Ghirah dan tantangan terhadap islam. Pustaka Panjimas: Jakarta

Sabtu, 29 November 2014

Kejujuran itu Kesederhanaan Yang Paling Mewah

 
Kejujuran itu kesederhanaan yang paling mewah. Mengapa dikatakan demikian? Kejujuran itu terdengarnya sederhana, namun sesungguhnya ia adalah mahkota kemuliaan bagi insan yang beriman. Ia adalah perhiasan jiwa yang lebih bercahaya dari intan berlian dan lebih mempesona dari bintang yang gemerlapan.

Kejujuran adalah tiang agama, pilar etika, dan pangkal wibawa. Tanpa kejujuran maka agama tidak lengkap, akhlaq tidak sempurna dan wibawa akan sirna.

Oleh karena itu Allah menyuruh kita untuk berperilaku jujur dan benar sebagaimana dalam firman-Nya :”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (QS.Al-Ahzab: 70).

Sesungguhnya orang yang berkata jujur akan mendapatkan tiga hal; kepercayaan, cinta dan rasa hormat. (Ali bin Abi Thalib)

Di akhir zaman ini begitu sulitnya memegang kejujuran, apalagi menemukan pemimpin yang jujur.

Ustadz Cucu Surahman MA mengatakan bertindak jujur memang tidaklah mudah. Apalagi ketika ketamakan duniawi, yang meliputi gengsi, posisi, dan upeti, sudah merasuki diri. Orang seperti ini akan menghalalkan segala cara, termasuk berdusta, demi tercapainya hasrat dan keinginan nafsunya. Demi untuk mendapatkan dunia, orang rela menukar-balikkan fakta. Menukar kebenaran dengan kebohongan, begitu juga sebaliknya.

Hal ini sesuai dengan prediksi Rasulullah Saw.: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau saw. apa itu Ruwaibidlah?  Rasul menjawab: Seorang yang bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah rakyat/publik”. (HR. Ibnu Majah).

Kejujuran seorang pemimpin atau pejabat akan menjadi lebih urgen dari orang atau rakyat biasa karena kejujurannya secara positif akan berpengaruh besar terhadap orang banyak, seperti akan terealisasinya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Dan sebaliknya, kebohongan seorang penguasa akan berdampak besar bagi rakyat banyak, tentu dalam bentuknya yang negatif, seperti melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan.

Cukuplah bagi Anda Hadits Ini


Disini saya akan menyampaikan kepada anda sebuah Haddist yang akan memiliki pengaruh terhadap hati anda seperti layaknya pengaruh sihir,dimana hanya dengan membacanya anda akan berdo’a kepada Allah kemudian respon anda terhadap hadist ini juga menjadi baik.

Jika anda tidak merasakan hal ini, berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan hati yang sehat.

Nabi Saw. Bersabda,
Sesungguhnya Allah adalah Pemalu dan Maha Pemurah, Jika ada seseorang  yang mengangkat kedua tangan (untuk meminta) kepada-Nya maka Dia akan malu untuk membiarkan keduanya (kedua tangan) itu pulang dalam keadaan kosong dan kecewa. (HR Tirmidzi)

Apakah setelah membaca hadist ini, anda masih tidak mau berdo’a kepada Allah Swt? Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah merasa malu untuk tidak mengabulkan do’a anda.

Sesungguhnya hadist ini akan mengubah perjalananhidup banyak orang yang memiliki hati yang sehat dan saya yakin anda adalah salah seorang dari mereka. Mulai sekarang, berdo’alah kepada Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan do’a anda. Sesungguhnya Allah Pemalu dan Maha Pemurah.

Wahai saudaraku yang tercinta, cukuplah bagi anda hadist ini. Demi Allah kita harus berprasangka bahwa jika ada seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya, maka Tuhan kita akan merasa malu, jika Dia membiarkan kedua tangan itu pulang dalam keadaan kosong dan kecewa.

Allah Swt. Juga berfirmaan dalam sebuah hadist Qudsi,

"Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku."

Oleh karena itulah, kami berprasangka bahwa Engkau akan mengabulkan do’a kami, wahai Robbi!

(dari buku Ibadatul Mu'min)

Sabtu, 18 Oktober 2014

This is L.O.V.E.. #LetsTalkAboutLove

This is L.O.V.E.. #LetsTalkAboutLove

Untuk Aktivis Dakwah Kampus (Adk.) Bahrul 'Ulum yuk sama-sama kita ramaikan twitter dengan men-twit apa itu cinta. Agar upaya kita menyiarkan Cinta, seperti jalan cintanya para sahabat rasulullah. Karna cintanya pada islam maka Allah Swt membalas cinta mereka dengan Jannah (surga).